PUISI 

Puisi-puisi Ibna Asnawi

Ibna Asnawi, lahir di Sumenep, 07 November 1996. Senang menulis puisi dan cerpen. Kini sedang mengaji di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa Putri Guluk-guluk Sumenep Madura. Juga aktif di komunitas sastra yang ada di sekitar Sumenep.

 

Lelaki Poteran

 

rumahmu begitu jauh

di hamparan luas laut

tempat ikan-ikan gemulai menari menggapai mimpi

 

di sana pula anganmu membentang

gaduh membentur karang

membangunkan tidur panjang rumput laut

 

meresah semakin

sebab bersama aku kau ingin berdayung

sedang aku hanya mampu melambai-lambai di tepi pantai

menyulut harap kau sampai ke titik matahari timbul dan tenggelam

meski sesekali memintamu ke tepian menemui rinduku yang kesakitan

 

sesungguhnya aku tak tahu bagaimana cara membawamu pulang ke rumah

membantali tidurmu dengan rayuan

menyelimutimu dengan senyuman

tapi kuberanikan diri merengek pada ibu

tertumpah air mataku di hadapannya

harapku yang panjang: restunya hilir ke hatiku

 

daviatul umam

riuh-tenang angin musim bersaksi atas kepatuhan doamu

gelombang bergemuruh berkati sujud hatimu

kau tahu dadaku menjelma laut harap

saat september berdenting di tanggal hampir sebegini tua

 

daviatul umam

dunia begitu pengap

soal keinginan begitu pelik

tiada pilihan kecuali berdiri tegak menghadapi

segala air mata dengan semangat berpeluh-peluh

bahkan saat gairah pelan-pelan menjadi jingga

 

Annuqayah, 18 September 2018

 

 

Kepergian Puisi

:Dananil Qayyum

 

puisi meminta izin untuk pergi

ia mengemasi lipatan kata-kata di lemari

dan kenangan yang terserak di kepala seorang gadis

 

lamat-lamat baunya berdenyar

rumah itu menjadi sepi suara

kecuali bunyi pintu berderit-derit

barangkali suara yang terbit dari ufuk rasa takut kehilangan

 

di beranda, seorang gadis kecil bercucuran air mata

tangannya yang mungil memukul-mukul udara

mungkin menangisi puisi di dalam kamar

atau pula kenangan yang menghunjam ke dadanya

 

luas halaman rumah membentang pasrah

ranting kering berserakan diterbangkan angin

seperti sedang membaca hati yang perlahan kelebihan degap

 

puisi pamit

air mata gadis kecil itu pun semakin merinai hujan

 

LK, 3 Oktober 2018

 

 

Hari-hari Nestapa

 

pohon seribu satu malam itu

dipeluk cahaya kamar kita

kudengar ia merintih

 

dari rimbunan hari-hari lalu

kerap ia menatap nun ke langit

gulung-bergulung awan-gemawan

mengajari ia mendekap rahasia

 

di dalam kamar

seorang gadis legam

memijaki bayang-bayang

wajahnya hening

tetapi pikirannya gemuruh angin

 

daunan itu semakin menguning

sebentar lagi bakal terpelanting

menyusur udara

lalu melepas lelah di rebah tanah

dan rahasia-rahasia membawanya

hingga ke surga

 

gadis itu merunduk

matanya berembun sesal

matahari di lemarinya

membias hingga ke jalan ini

 

(aku mendapati jalanan

pelan-pelan menjadi basah)

 

LK, 15 Maret 2019

 

 

Kesunyian Magrib

 

lalu magrib pun menangis

setelah Guluk-guluk mengabarimu

perihal kepergian kiai zamiel

ke puncak cahaya

 

alir petang itu

hilir ke dingin jemarimu

sampai matamu gelap

dan dudukmu bak ditikam sembilu

kutanya, apakah berdiam di cerukmu?

 

puisi-puisi ribut di kedalamanmu

siapa paling lemah, siapa paling lemah

katanya, “diriku atau engkau?”

 

LK, 31 Maret 2019

 

 

 

 

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

fifteen − four =